Oleh : Andi Syahrir
TERAMEDIA.ID – Ada banyak kisah tentang layangan purba yang ditemukan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, dalam perspektif pariwisata, kisah apa saja yang hadir tentang peristiwa empat ribu tahun silam itu adalah promosi. Biarlah setiap versi adalah agen untuk menarik minat orang datang kesana.
Sejak tahun 1997, Kaghati Kalope, layangan tradisional dari daun ubi hutan, dikenal dunia. Mencuri perhatian di Festival Layang-Layang Perancis. Antropolog Jerman Wolfgang Bick pun ke sana. Risetnya telah terbit. Menjadi referensi ilmiah.
Jika Kaghati Kolope –seperti yang disebut banyak orang– adalah kekayaan, tengoklah Desa Liangkobori, tempat pengrajin layangan itu berada. Lokasi dimana peradaban masa lalu itu mengawali kisahnya. Rumah produksi kain-kain tenun indah yang kita kenakan.
Saya baru saja bertemu dengan kepala desanya. Baru setahun dia menjabat. Baru tahun lalu aliran listrik masuk di desanya. Baru tahun lalu pasokan air bersih “lancar” mengucuri rumah-rumah penduduk. Saya beri tanda kutip untuk kata lancar, karena aliran air masih mengandalkan bantuan-bantuan insidentil untuk memobilisasi air ke tempat penampungan desa. Yang nanti setelah kepala desa ini terpilih, upaya-upaya itu dilakukan serius.
Goa Liangkobori, obyek utama narasi promosi kepariwisataan, seperti bibir pecah yang dipoles lipstik. Akses jalan ke sana memprihatinkan. Jika tahun 1997 kita anggap sebagai titik awal penemuan “emas” kebudayaan-pariwisata, sudah dua puluh tujuh tahun kita tidak melakukan hal-hal signifikan di sana untuk mengkonversinya menjadi apa yang selalu didengungkan dalam kontestasi elektoral: “kesejahteraan masyarakat”.
Kepala desa yang saya temui kemarin, berusaha berbuat semampunya. Dia membangun homestay di depan gua. Memagari kawasan itu, dan membersihkan akses jalan kesana dari rerimbunan semak yang menutupinya. Menggelar Festival Liangkobori untuk menarik perhatian kita. Tanggal 11 Juli mendatang adalah kali kedua festival itu digelar. Datanglah.
Jika Liangkobori diyakini sebagai kawasan pusat peradaban awal orang Muna, kita rasanya seperti orang-orang yang tidak begitu peduli darimana kita berakar.
Desa Liangkobori hanya sepelemparan batu dari Kota Raha, ibukota kabupaten. Namun, jarak infrastruktur dasarnya begitu jauh.
Saya memilih berlama-lama di keheningan belantara perbukitan karst di kawasan itu. Menyerapi udaranya yang sejuk. Membayangkan manusia-manusia prasejarah itu melukis di dinding-dinding goa. Saling bercengkrama. Barangkali sembari bermain kalego.
Gelap sudah menyelimuti ketika saya menuju pulang. Mataku terbentur pada jejeran baliho calon kepala daerah. Semua tersenyum. Ke arah Desa Liangkobori.*
Editor:NZ