Opini

Belajar Kesederhanaan Orang Bajo

1679
×

Belajar Kesederhanaan Orang Bajo

Share this article
Foto: Kiri (Tawing) Tengah (Muh.Furqon Akhsani )

 

TERAMEDIA.ID – Terkadang, keruwetan itu muncul bukan karena ketiadaan. Keterbatasan akan memaksa seseorang untuk menerima apa adanya. Keruwetan itu bermula justru dengan banyaknya pilihan, namun kita masih belum puas dengan pilihan itu. “Pengen” yang lebih baik. Apa yang ada di tangan tidak terlihat, namun merisaukan apa yang di kejauhan.

Jika hidup Anda mulai ruwet dengan kriteria seperti itu..

Jika keruwetan Anda akibat doktrin mendang-mending, yang justru membuat Anda jadi kaum mager, tidak berbuat apapun..

Maka sesekali dolan lah.. Mainlah bersama kaum Bajo.. Belajarlah simplicity dari mereka.. yang barangkali mereka telah lama mempraktekkan konsep “bahagia itu sederhana”.

Asal usul suku Bajo tidak diketahui secara pasti. Ada yang menyebut mereka sebagai masyarakat asli Filipina selatan, sebagian lain menaksir moyang Bajo dari Sabah, Malaysia. Namun faktanya, populasi Bajo memang tersebar di pesisir Kalimatan, Sulawesi, Nusa Tenggara, bahkan ada yang sampai Sapekan, Madura. Tentu saja banyak yang berdiam di Filipina maupun Malaysia sebagaimana klaim para peneliti tentang asal usul suku laut tersebut. Di Indonesia saja, tercatat 380 jiwa. Dan kabarnya, populasi terbesar ada di Sulawesi Tenggara.

Pada era sebelumnya, mereka dikenal kaum nomaden. Bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka tinggal di atas perahu. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang banyak ikannya. Pada masa berikutnya, mereka mulai membangun rumah, namun tetap di atas laut, sepanjang pesisir pantai. Sejauh dolan saya 9 bulan tinggal di Kendari, saya banyak menemui rumah Bajo berada di Kepulauan Wakatobi, Pulau Langara, dan Pulau Labengki. Adapun di Kendari sendiri, kita akan banyak menemui hunian Bajo di sepanjang jalan menuju Pantai Toronipa.


Jumat kemarin, saya sempat berbincang dengan salah seorang asli Bajo di Pulau Labengki, namanya Tawing. Sebagaimana orang Bajo kebanyakan, perawakan pria 30 tahun tersebut langsing namun tampak berotot. Kulitnya gelap khas terpanggang matahari. Orangnya ramah, bahasa lisannya runtut. “Sejak kecil kami memang diajari ramah dengan orang lain. Hal ini tidak terlepas budaya kami yang berpindah-pindah,” papar Tawing membuka percakapan.
Pria itu menjelaskan, pada era sebelumnya Bajo memang nomaden. Setelah ada anggota keluarganya yang meninggal, mereka lantas berpindah tempat. Namun budaya itu tidak mereka teruskan sekarang. Bajo hari ini bertahan di satu lokasi, meskipun tetap tinggal di rumah panggung di atas air.

Begitu akrabnya dengan laut, anak kecil pun sudah jago berenang dan menyelam. Jika suatu saat berkesempatan berkunjung ke Wakatobi, Anda akan mudah menemui anak-anak Bajo berlompatan dari atas dermaga terjun ke laut tanpa peratan bantu sedikit pun. Mereka berenang kesana-kemari bertelanjang dada, riang tanpa beban. Anak-anak itu juga welcome dengan pendatang. Meski baru 5 menit kenalan, Fauzan (putra Tawing) langsung menjadi guide anak saya berburu kerang di pesisir Labengki, padahal umurnya baru 7 tahun.

Orang Bajo dikenal penyelam ulung. Mereka mampu menyelam 15-20 menit tanpa mengambil napas, bahkan sampai kedalaman lebih 40 meter. Sebagaimana kita ketahui, penyelaman menggunakan peralatan scuba dibatasi hanya sampai 40 meter. “Rekor saya pernah membantu evakuasi kapal nelayan yang tenggelam di kedalaman 60 meter, dan bertahan 20 menit di kedalaman,” kenang Tawing. Kemampuan menyelam ini memang mereka perlukan untuk berburu ikan.

Berdasar penelitian ilmiah, diyakini terjadi mutasi DNA pada limpa orang Bajo sehingga kapasitasnya lebih besar dibanding orang kebanyakan. Hal ini dipahami sebagai adaptasi morfologis mereka yang 24 jam tinggal di laut. Kendati demikian, kemampuan tersebut tidak serta merta bertahan tanpa latihan rutin. Setelah berkenalan dengan teknologi Scuba Diving, kemampuan menyelam “tangan kosong” Tawing sudah tidak seperti yang dulu. Pria asli Labengki tersebut saat ini memegang lisensi internasional dive master yang sekaligus didapuk sebagai ketua Dive Center Kimaboe Labengki.

Saat ini terdapat 120 KK tinggal di Pulau Labengi kecil dengan segala kebersajahaanya. Orang Bajo memang menyukai kesederhanaan, hal tersebut mungkin terkait dengan style nomaden mereka. Di rumah-rumah kayu itu mereka tidak memiliki ranjang, kasur mereka terhampar di lantai. Kendati sederhana, kaum pantai itu suka keindahan. Selain cat rumah, sprei kasur mereka juga berwarna-warni. Mereka juga tidak mengenal konsep kamar mandi dalam, shower, maupun kloset duduk. Kalau sempat menginap di sana, Anda pasti akan de javu pada era masih kecil kita.

Di Labengki, kekhasan itu mereka sadari sebagai komoditas layak jual. Labengki sendiri dikenal sebagai Raja Ampat-nya Sultra. Beberapa teman bilang, pemandangan alam lautnya lebih indah dari Bunaken atau Wakatobi. Kehangatan budaya kaum Bajo tersebut bisa melengkapi keindahan alam yang ada.

Tergabung dalam sebuah Pokdarwis, mereka menggagas konsep wisata bertajuk “Living like A Bajo”. Mereka tidak membangun homestay khusus, namun menyewakan rumahnya untuk ditinggali pengunjung, Mereka berbagi kamar dan berinteraksi bersama. Meski di pulau Labengki Besar terdapat dua cottage milik investor Jakarta, menginap di rumah Bajo bisa memberikan pengalaman yang berbeda. Tidur di lantai, mandi air dingin dengan gayung di kamar mandi luar, mencicipi seafood, dan ngobrol santai dengan keluarga mereka bisa jadi kenangan tak terlupakan. Bagi wisatawan, bermalam di rumah warga, juga menjadi mode akomodasi yang lebih murah ketimbang menginap di cottage profesional.

Untuk percepatan kemandirian desa wisata tersebut, mereka berkolobrasi dengan para volunteer wisata dan juga BUMN, salah satunya PLN Nusantara Power UP Kendari. Saat balik ke Kendari kemarin, saya sempat sekapal dan ngobrol dengan Ahmad Nizar, praktisi media yang belakangan fokus pada pengembangan desa wisata. Pria yang akrab dipanggil Ino ini, menjadi salah salah satu tokoh dibalik layar penataan dan promosi Labengki sebagai desa wisata.
Saya pun bercerita, CSR kantor bulan kemarin mengadakan pelatihan komposting. Ini bukan saja soal kepedulian lingkungan, tapi juga terkait dukungan terhadap program desa wisata. Masukan pengunjung, mereka ingin menu seafood diperkaya sayur. Padahal tanah Labengki yang didominasi karang, membuat sayuran menjadi barang langka karena harus “diimpor” dari Kendari daratan. Kompos yang mereka buat dari sampah organik, bisa menjadi media berkebun sayur. Dari situ, pengunjung akan lebih terpuaskan.

Kolaborasi itu berbuah manis. Pada ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024, Labengki terpilih menjadi top 50 desa wisata terbaik di Indonesia. Dan Jumat (11/10) kemarin Menparefraf Sandiaga Uno menyempatkan berkunjung ke Labengki, menutup visitasinya pada era kabinet Jokowi. Mas menteri sempat mengapresiasi kolaborasi tersebut.

Di salah satu run down kunjungan, saya secara simbolis sempat menyerahkan Kima Boe, alias kerang raksasa endemik Indonesia, ke Mas Menteri untuk ditanam di sudut perairan Labengki. Total ada 50 Kimaboe yang kami serahkan ke masyarakat Labengki. Dan Tawing kembali menunjukkan atraksi keahlian Bajo-nya. Tanpa peralatan apapun, dia menyelam ke kedalaman 10 meter untuk meletakkan Kima tersebut. Tentu agar laut makin lestari. Dan persahabatan dengan alam inilah yang membuat kita akan bahagia hingga anak cucu. Semoga (*).

 

Penulis: Muhammad Furqon Akhsani
Editor:NZ