NewsNasionalSosial Budaya

FGD Kaukus Timur Seri 11; Jangan “Gebuk” Masyarakat Karena Alasan Investasi!!!

281
×

FGD Kaukus Timur Seri 11; Jangan “Gebuk” Masyarakat Karena Alasan Investasi!!!

Share this article

TERAMEDIA.ID, KOTA KENDARI – Kaukus Timur Indonesia kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD), Sabtu sore, 23 September 2023. Kali ini menghadirkan dua narasumber dan meneropong problematika di Sulawesi Tenggara (Sultra), anggota DPR RI Ir Hugua, dan dosen Fisip Universitas Halu Oleo, Dr La Ode Harjuddin.

Karena isunya masih aktual dan kondisinya relatif mirip, maka diapungkanlah tema “Belajar dari Kasus Rempang-Pohuwatu”. Seperti biasa, FGD dipandu oleh jurnalis senior Upi Asmaradhana dan disiarkan secara live melalui kanal youtube UpiShow.

Mengawali diskusi, Hugua yang sementara membahas disertasinya di kampus IPDN, menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Rempang dan Pohuwatu sesungguhnya sudah diprediksi sejak jauh hari. Hal itu, kata dia, sebagai konsekuensi dari benturan peradaban. Apalagi dengan perubahan dan percepatan industri yang begitu cepat dari era 4.0 menjadi 5.0.

Jika di era kolonalisme bangsa Eropa menjelajah ke seantero negeri untuk mengejar rempah seperti cengkih dan pala, maka di era imperialisme kekinian, maka dua kekuatan besar dunia, yakni China dan Amerika Serikat, berebut pengaruh untuk menguasai bahan baku industri. Pada kasus Rempang, Kepulauan Riau, yang menjadi magnet investor antara lain pasir kausa sebagai bahan baku kaca, dan emas di Pohuwatu, Gorontalu.

Sultra sendiri, sebut Hugua, menjadi primadona investor karena memiliki kandungan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan utama industri. Apalagi kalau bukan nikel dan aspal. Plus tujuh keajaiban pariwisata seperti Wakatobi dan lainnya. “Makanya tidak salah jika Sulawesi Tenggara ini disebut sebagai masa depan dunia. Masa depan Indonesia,” ucap anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini.

Belum lagi, tambah mantan Bupati Wakatobi dua periode itu, posisi Sultra di peta dunia, amatlah strategis. Yakni, berada di area Alur Laut Kawasan Indonesia (ALKI) III, yang membentang dan menghubungkan Australia dan benua Asia. “Dalam konteks geopolitik dunia, suka tidak suka, itu akan sangat berpengaruh ke Indonesia dan akan sangat berpengaruh kepada Sulawesi Tenggara,” ujarnya.

Kaitannya dengan kasus Rempang dan Pohuwatu, Hugua mengingatkan bahwa jika investasi di Sultra tidak terkelola baik, hal sama pasti akan terjadi dan menimpa masyarakat daerah ini. “Jikalau perusahaan besar masuk mengambil tanah-tanah adat dan tidak terselesaikan baik, bisalah diperkirakan seperti apa ke depannya. Apalagi ini pertarungannya melibatkan dua kekuatan besar dunia, China dan Barat, dalam hal ini Amerika Serikat,” ucap politikus kelahiran 31 Desember 1961 itu.

Hal senada disampaikan akademisi Universitas Halu Oleo, Dr La Ode Harjuddin. Apalagi, kata dosen Ilmu Politik FISIP Unhalu itu, tanda-tanda dan riak-riaknya sudah kelihatan sejak beberapa waktu lalu. “Di Sultra itu riak-riaknya sudah muncul. Sudah sering terjadi benturan kecil antara masyarakat dengan pihak tambang atau investor,” ungkap Harjuddin.

Atas fenomena itu, dia mengingatkan pemerintah untuk mengambil langkah yang arif dan bijak. “Pemerintah jangan mengabaikan kepentingan masyarakat dengan alasan investasi. Pemerintah jangan sampai tidak melindungi kepentingan masyarakatnya dan lebih mendahulukan kepentingan investor,” dia mengingatkan.

Dalam amatan Harjuddin, konflik komunal yang kerap terjadi di berbagai belahan nusantara antara masyarakat setempat (adat) dengan investor, polanya relatif sama. Yakni, investor masuk dan menguasai lahan di suatu daerah, lalu masyarakat setempat merasa dirampas hak-hak idealnya dan kemudian menuntut haknya.

Celakanya, di berbagai kasus, seperti di Rempang Kepulauan Riau, umumnya pemerintah lebih mendahulukan kepentingan investor ketimbang masyarakat. Sudah begitu, menggunakan pula aparat negara seperti TNI dan Polri untuk menggebuk masyarakat sendiri.

“Pertanyaannya kemudian, di mana posisi negara? Apakah negara hadir mewakili kepentingan masyarakat atau kepentingan pengusaha? Ke depan, yang begitu itu harus dibuat klir agar tidak terus terjadi seperti peristiwa Rempang dan Pohuwatu,” Harjuddin mengingatkan.

Hal senada disampaikan Hugua. Bagi politikus kenyang pengalaman ini, agar tidak terjadi benturan di tingkat akar rumput, maka seyogianya berbagai elemen masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Paling tidak, jika sudah menjadi kebijakan, disosialisasikan secara menyeluruh sehingga tidak ada pihak yang merasa diabaikan.

Dia juga mengingatkan agar segala hal yang menjadi buah pikiran dan ide brilian untuk kemajuan bangsa, sedapat mungkin tidak ditelan sendiri. Sebaliknya, dia menantang untuk diteruskan ke parlemen sebagai lembaga politik dan pembuat UU. Sehingga, segala ide dan buah pikiran tersebut, tersalurkan melalui regulasi bentukan negara melalui pemerintah dan DPR.

“Karena sebaik apapun idenya, tidak akan menghasilkan apa-apa jika tanpa diiringi dengan perbaikan peraturan perundang-undangan. Nah itu, salurannya melalui parlemen. Jadi, silakan diteruskan ke DPR, kita tunggu ide-idenya untuk perbaikan bangsa ini,” tantangnya.

Pada bagian lain, Harjuddin mengapresiasi positif upaya masyarakat mengorganisasi diri untuk merespons perlakuan negara (pemerintah) yang kerap berlaku diskriminatif. Bagi dia, upaya mengorganisasi diri itu dijamin konstitusi sehingga tidak perlu ditanggapi macam-macam. Salah satunya melalui Kaukus Timur Indonesia sebagai wadah perjuangan terhadap ketidakadilan politik dan ekonomi.

“Mengorganisasi diri supaya kita punya position yang kuat di hadapan penguasa, adalah sesuatu yang konstitusional. Demokrasi itu menjamin kebebasan dan kesetaraan setiap orang. Jadi bagi saya, Kaukus Timur ini bagus untuk memperjuangkan apa yang disebut sebagai kesetaraan kawasan, keadilan ekonomi dan keadilan politik,” ujarnya.

Sebelumnya, mengawali FGD, Presidium Kaukus Timur Indonesia, Uslimin menyampaikan bahwa lembaga yang dikelolanya merupakan gerakan intelektual dan gerakan moral yang akan terus menyuarakan kesetaraan dan keadilan kawasan, baik di bidang politik maupun ekonomi. Perjuangan kesetaraan itu, paling tidak menyasar 22 provinsi di Kawasan Timur Indonesia, yang tersebar di enam provinsi di Papua, dua provinsi di Maluku dan Maluku Utara, tiga provinsi di Bali Nusa Tenggara, lima provinsi di Kalimantan, serta enam provinsi di Sulawesi. **(Red)