PariwisataHeadlineNews

Merawat Tradisi Dalam Selimut Festival Liangkabori

63
×

Merawat Tradisi Dalam Selimut Festival Liangkabori

Share this article

TERAMEDIA.ID,MUNA- Tidak ada keramaian ala kota, tak ada baliho besar atau umbul-umbul warna-warni yang berderet dari ujung jalan. Tidak pula terlihat siswa-siswi berdiri berjajar rapi sambil melambaikan bendera kecil menyambut kedatangan pejabat. Tapi jangan salah. Justru di kesederhanaan itulah, Desa Liangkabori menyimpan pesona dan kearifan yang begitu hangat.

Desa ini seperti berjalan pelan dalam waktu. Rumah-rumah penduduk masih menjaga bentuk asli warisan leluhur, berdiri di bawah langit biru dengan latar bukit-bukit karst yang menjulang gagah. Jalanan sepi tapi bukan berarti sunyi, karena setiap orang yang kita temui akan melemparkan senyum ramah seolah berkata: “Selamat datang di rumah kami.”

Liangkabori bukan cuma nama desa. Di dalamnya ada satu situs budaya yang luar biasa: Goa Liangkabori. Bukan sekadar goa biasa dengan stalaktit dan stalagmit, tapi goa ini menyimpan lukisan dinding yang dipercaya berasal dari nenek moyang suku Muna. Ratusan gambar tangan dan simbol-simbol kehidupan purba tergores di dinding batu, menjadi saksi bisu perjalanan peradaban.

Nah, semua pesona itu disatukan dalam Festival Liangkabori. Sebuah perayaan budaya yang digelar bukan sekadar ajang seremonial, tapi bentuk nyata dari rasa syukur dan usaha untuk menjaga warisan. Festival ini juga jadi momen untuk mengenalkan kekayaan budaya Muna kepada dunia luar, lewat tarian-tarian tradisional, musik etnik, kuliner khas desa, permainan tradisional hingga kerajinan lokal.

Di tahun ke-3 festival ini terasa makin meriah dan penuh warna. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah lomba layang-layang. Ada enam layang-layang tradisional yang ikut serta, dikenal dengan nama Kaghati Kolope, layangan khas Muna yang terbuat dari daun ubi hutan yang dikeringkan dan bambu tipis, dengan bentuk unik dan suara mendesing saat mengudara. Selain itu, sebanyak 24 layang-layang kreasi hasil karya warga lokal hingga luar Muna ikut menghiasi langit desa, menciptakan kolase warna-warni di atas tanah leluhur.

Keseruan berlanjut di depan mulut Goa Liangkabori, tempat digelarnya lomba Kalego, permainan tradisional khas Muna yang menggunakan tempurung kelapa. Tahun lalu lomba ini hanya diikuti oleh 5 tim, namun tahun ini jumlah peserta melonjak menjadi 12 tim. Peningkatan ini menunjukkan bahwa upaya pelestarian budaya benar-benar hidup di tengah masyarakat.

Tak ketinggalan, permainan Kalapinda atau egrang juga menjadi pusat perhatian. Anak-anak, orang dewasa, bahkan ibu-ibu tak segan ikut menjajal ketangkasan berjalan di atas dua batang bambu panjang. Suasana penuh gelak tawa dan sorak-sorai, seolah menyatukan semua usia dalam satu semangat: gembira dalam tradisi.

Salah satu panitia acara, Mai, dengan antusias membagikan pengamatannya “Banyak permainan tradisional yang dimainkan anak-anak di Liangkabori. Ada permainan kelereng, layang-layang, dan masih banyak lagi. Tapi Kalapinda ini jadi salah satu mainan favorit mereka,” ujarnya sambil tertawa kecil melihat anak-anak jatuh bangun tapi tetap gigih melangkah di atas Kalapinda.

Namun Festival Liangkabori tidak hanya soal hiburan dan nostalgia masa kecil. Ada semangat besar yang sedang dibangun dari dalam desa. Farlin, Kepala Desa Liangkabori, menekankan bahwa festival ini memiliki makna strategis bagi masa depan warganya.

“Dengan adanya festival ini, kami berharap masyarakat Liangkabori bisa semakin sejahtera. Kami ingin membangun desa yang mandiri secara ekonomi, dengan memanfaatkan potensi budaya dan wisata yang kami miliki,”ujarnya penuh harap.

Festival ini memang tak mengandalkan kemewahan. Tapi di balik kesederhanaannya, ia mengandung makna yang dalam. Ini adalah ajang untuk merawat akar, menyiraminya dengan cinta, dan menyambung napas tradisi agar terus hidup. Di tengah derasnya arus modernitas, Liangkabori memilih bertahan dengan cara yang indah: menyambut masa depan tanpa melupakan masa lalu.

Festival Liangkabori adalah tentang menjaga, merayakan, dan menyalakan kembali cahaya warisan budaya dengan tawa, dan dengan keyakinan bahwa kearifan lokal adalah fondasi yang kuat untuk melangkah ke depan.*(ADV-DY)