TERAMEDIA.ID, KONAWE SELATAN – Di tengah kekhawatiran ancaman terumbu karang di Indonesia, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) unit SG006 melakukan pelestarian terumbu karang di alam bawah laut di Desa Namu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan. Pada Selasa, 22 Juli 2025 peletakkan bioreeftek dilakukan dengan snorkeling bersama komunitas OK Dive dan turut dibantu oleh warga setempat.
Metode bioreeftek berasal dari bahan-bahan yang ramah lingkungan yaitu memanfaatkan tempurung kelapa yang disusun dengan bidang beton ukur kurang lebih 55 cm x 45 cm. Mahasiswa UGM yang berasal dari Sub. Unit Batu Jaya menjadi pencetus program bioreeftek di Desa Wisata Namu, Bayu Sapmito, menyampaikan bahwa metode bioreeftek yang dirancang dapat memfasilitasi akan regenerasi terumbu karang yang rusak diakibatkan aktivitas manusia dan perubahan iklim.
Keberhasilan pembuatan bioreeftek dibantu oleh masyarakat dari tiga desa yang menjadi lokasi Sub. Unit KKN, yaitu warga Batu Jaya, Namu, dan Malaringgi. Selama 4 hari pengerjaan, mulai dari pengamplasan tempurung kelapa, membuat lubang dengan gerinda, pengisian beton, hingga menunggu proses pengeringan.
“Prosesnya cukup memakan waktu dan menguras tenaga yang luar biasa, tapi alhamdulillah lancar dibantu berbagai pihak termasuk komunitas OK Dive dalam meletakkan dan memotong coral di bawah laut dengan kedalaman kurang lebih 10 meter”, jelas Bayu Sapmito
Proses peletakkan dibantu seorang profesional diving serta sukarelawan asal Prancis, pemasangan struktural ini diharapkan akan mendapatkan hasil yang optimal
Meskipun proses peletakan selesai dalam hitungan hari, hasilnya tidak langsung terlihat. Bayu menjelaskan, butuh waktu bertahun-tahun untuk melihat koloni karang tumbuh kembali secara signifikan.
“Yang kita lakukan sekarang adalah investasi untuk masa depan laut kita. Proses pemulihan terumbu karang membutuhkan kesabaran, pemantauan berkala, dan perlindungan dari ancaman baru,” ujarnya.
Menurut Dr. Eko Tri Sulistyani, M.Sc., Dosen Pembimbing Lapangan, metode Bioreeftek menawarkan keunggulan karena memanfaatkan bahan lokal yang mudah didapat dan efektif dalam mendukung pemulihan ekosistem. “Keberhasilan metode ini bergantung pada dua hal yaitu komitmen menjaga lokasi dari kerusakan baru dan konsistensi pemantauan pertumbuhan karang,” jelasnya.
Indonesia memiliki sekitar 2,5 juta hektare terumbu karang dengan data terbaru menunjukkan bahwa hampir sepertiganya berada dalam kondisi rusak berat. Penyebabnya bervariasi mulai dari penangkapan ikan dengan bahan peledak, penambangan pasir laut, polusi, hingga dampak perubahan iklim termasuk pemutihan karang (coral bleaching) yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di hampir seluruh lautan Sulawesi.
Bagi masyarakat Desa Namu yang sebagian besar hidup dari laut, kerusakan terumbu karang berarti menurunnya hasil tangkapan ikan. Terumbu yang sehat menyediakan tempat berlindung, berkembang biak, dan mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Ketika terumbu rusak, rantai ekosistem pun terganggu.
Meski manfaat ekologis baru akan terasa beberapa tahun ke depan, program Bioreeftek sudah memberi dampak positif secara sosial. Proses pengerjaan melibatkan banyak warga, menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama untuk menjaga laut.
Selain itu, program ini berpotensi mendukung pengembangan ekonomi masyarakat melalui ekowisata bahari. Keindahan bawah laut yang pulih nantinya dapat menarik penyelam dan wisatawan, sekaligus membuka peluang usaha seperti homestay, pemandu wisata, dan penjualan produk lokal.
“Kalau laut kita sehat, ikannya kembali banyak, wisatawan datang, otomatis ekonomi kita ikut terangkat,” ujar Bang Ilong, salah satu nelayan Namu yang turut membantu pemasangan Bioreeftek.
Adanya inisiatif ini membuktikan bahwa pelestarian lingkungan tidak harus selalu mahal atau menunggu bantuan besar dari luar. Dengan kreativitas, kerja sama, dan pemanfaatan sumber daya lokal, upaya sederhana pun bisa membawa perubahan nyata.
Kolaborasi antara mahasiswa, warga desa, akademisi, dan relawan asing di Desa Namu menjadi contoh sinergi yang layak diikuti daerah lain. Pendekatan ini tidak hanya mengutamakan hasil akhir, tetapi juga membangun kesadaran ekologis sejak awal.
Di samping itu, Tim KKN-PPM UGM berharap proyek pemasangan Bioreeftek bisa terus dilakukan oleh warga setempat ke depannya.
“Laut adalah masa depan kita. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?” pungkas Bayu.
Dengan semua tantangan yang dihadapi terumbu karang Indonesia, program BioReeftek di Namu memberi secercah harapan. Dari tempurung kelapa yang sederhana, lahirlah sebuah gerakan yang mungkin suatu hari nanti akan mengembalikan warna-warni kehidupan di bawah laut Sulawesi Tenggara.(**)
Editor:NZ