NewsSosial Budaya

Persoalan Sengketa Adat, Tanah Hingga Kriminalisasi di Kabupaten Bombana

×

Persoalan Sengketa Adat, Tanah Hingga Kriminalisasi di Kabupaten Bombana

Share this article

TERAMEDIA.ID, KENDARI – Tim advokasi Lembaga adat Moronene (LAM) melakukan konferensi pers disalah satu Coffe shop di Kota Kendari, Rabu 10 Desember 2025 malam menyampaikan 5 poin pokok persoalan yang terjadi di Negeri Dewi Padi julukan kabupaten Bombana.

Ketua Tim advokasi LAM sekaligus mantan ketua Panitia Pemilihan Raja ke VIII Moronene Muhammad Mardhan mengatakan, lima point pokok persoalan antara lain, pertama, Pemakzulan Raja ke VII dan keabsahan Raja ke VIII, kedua Konflik lahan melibatkan keluarga kerjaan Moronene rumbia, ketiga Kriminalisasi yang dialami oleh Tokoh Adat dan Raja ke VII, keempat keterlibatan investor, kelima Lembaga Adat yang diakui keabsahannya.

PEMAKZULAN RAJA KEVII DAN KEBASAHAN RAJA VIII

Pemakzulan Raja ke VII Alfian Pimpie dilakukan oleh Lembaga Adat Moronene (LAM) atas dugaan pelanggaran adat. Pasalnya Alfian dinilai mencoreng nama baik etnis Moronene rumbia dengan melakukan penjualan tanah masyarakat atau warisan keluarga pada pihak investor mengatasnamakan tanah kerajaan.

Tak hanya itu, Alfian juga melakukan penjualan tanah yang diduga bukan kepemilikannya dengan menggunakan Kop kerajaan dan stempel kerajaan.

“Kami turun menginvestigasi kurang lebih 1 bulan, dan setiap yang kami tanya beli dari siapa tanah ini, muaranya kepada satu nama yakni Alfian Pimpie,” ujarnya.

Sementara keabsahan Raja ke VIII Moronene diklaim telah melalui prosedur adat. Kerajaan Moronene dibawah naungan Kesultanan Buton melakukan pemilihan atas persetujuan Sultan Buton.

“Setelah pemakzulan kami menetapkan Raja Ke VII Moronene Aswar Latif, hasil dari itu kami teruskan ke Kesultanan Buton. Lalu disetujui oleh kesultanan dan telah absah sebagaimana pemilihan terdahulu,” kata Mardhan

 

KONFLIK LAHAN MELIBATKAN RAJA MORONENE DAN KELUARGA

Konflik lahan ini terjadi kata Mardhan dikarenakan adanya kepentingan Raja Ke VII yang tidak diayomi oleh pihak keluarga Raja ke VIII Aswar Latif. Pasalnya sebelum masalah membuming, pihaknya pernah dikunjungi oleh Pemerintah Daerah, perwakilan investor bersama Raja ke VII untuk menawarkan kerjasama agar meloloskan perusahaan Sultra Indonesian Park dapat membangun perusahaan di wilayah yang diklaim milik keluarga Raja VIII.

“Namun dalam diskusinya tidak ditemukan titik temu, terlebih lokasi yang di tunjuk oleh investor itu diklaim oleh Raja VII sebagai tanah kerajaan, sementara itu adalah tanah leluhur kami, dan warisan dari keluarga kami dan kami sebagai ahli warisnya. Jangn semuanya diklaim milik Raja ke VII,” katanya.

KRIMINALISASI TOKOH ADAT HINGGA RAJA TERPILIH KE VIII MORONENE

Dugaan kriminalisasi dialami oleh tokoh adat, Raja hingga masyarakat adat. Kriminalisasi ini terjadi dikarenakan dugaan pengrusakan dan pendudukan kawasan hutan produksi.

Mardhan menyampaikan, sebelumnya lahan tersebut bukan wilayah kawasan, olehnya ia dan keluarganya menduduki tempat tersebut untuk berkebun dan menanam kelapa sawit.

Kehadiran keluarga pihak Raja ke VII di lokasi tersebut merupakan buntut dari adanya klaim lahan yang digunakan untuk perkebunan itu adalah milik mantan Raja Alfian.

“Sebenarnya kami masuk itu untuk mengusir orang-orang yang menjaga lahan, karena itu diklaim milik Raja ke VII. Saat kami mengusir lahan itu sudah terbuka dan pohon sudah ditebang. Setelah pengusiran kami mendirikan pondok, namun seminggu setelahnya tiba-tiba ada plang pengumuman bahwa itu daerah kawasan,” jelasnya.

Melihat Pengumuman daerah kawasan yang didirikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai mana masyarakat yang patut hukum, Raja ke VIII dan keluarga meninggalkan lokasi tersebut pada tahun 2024. Namun di tahun 2025 pihaknya dilaporkan ke Polda Sultra atas dugaan pengrusakan dan pendudukan kawasan Hutan.

“Kami sendiri tidak tau, Tiba-tiba saja status lahan berubah menjadi kawasan Hutan produksi yang sebelumnya APL. Terlebih sebelumnya, daerah tersebut adalah hibah dari PT Barito Investor Prima yang tidak lagi beroperasi ditahun 2023,” ujarnya.

Selain Aswar Latif, Mardhan menyebut bahwa dua warga lainnya Makmur dan Ratman Jaru Munara juga menjadi korban kriminalisasi hukum yang diduga dipicu oleh laporan pihak yang mereka sebut sebagai sekutu Alfian Pimpie, mantan Raja Moronene.

“Kami dalam aksi beberapa waktu yang menyampaikan misi tidak percaya kepada APH, karena kami menduga adanya kriminalisasi dan Polda Sultra tutup mata. Pasalnya saat penyidik datang ke lokasi lahan tersebut, Hutan kawasan sudah di garap oleh orang lain yang sampai hari ini tidak dilakukan penindakan,” terangnya.

KETERLIBATAN INVESTOR

Kriminalisasi terjadi kata Mardhan diduga karena adanya kepentingan Investor, pemda Bombana dan Raja ke VII Alfian Pimpie.

Mardhan mengatakan, dugaan ini didasari atas kebutuhan investor yang akan melakukan pembangunan perusahaan di wilayah Bombana.

“Seperti yang dijelaskan tadi, keluarga kami disambangi oleh ketiga pihak tersebut, dan tidak menemui hasil, setelah itu terjadi lah kriminalisasi hingga saat ini,” ujarnya.

Kata Mardhan, sebelumnya mantan raja ke VII Moronene Alfian Pimpie bersama Leo Chandra dan Pemda Bombana diduga karena bersikukuh menolak Damai dan bekerjasama atas keinginan oknum tersebut untuk menguasai dan mengeksploitasi lahan pertambangan yang merupakan milik keluarga besar Mokole Aswar Latif.

LEMBAGA ADAT YANG DIAKUI KEABSAHANNYA

Saat ini di kabupaten Bombana, ada dua lembah ada Moronene yang saling klaim atas kebasahannya yakni Lembaga Adat Moronene (LAM), Lembaga Adat Kerajan Moronene (LMK). Kedua Lembaga tersebut mengklaim kebasahannya. Menurut Mardhan LMK ini lahir pada tahun 2017 untuk meloloskan kepentingan pihak Raja ke VII dan kolega.

Sementara itu, Mardhan mengklaim LAM adalah lembaga adat pertama yang lahir di Moronene Rumbia dan telah terdaftar di Kesbangpol Sultra.

“Kami secara keabsahan jelas, ada akta notaris, berbadan hukum, dan telah tedaftar di kesbangpol dan berproses untuk terdaftar di kemenkumham. Justru Lembaga adat yang mengklaim sebagai lembaga SAH baru berdiri untuk meloloskan kepentingan pihak-pihak mereka,” ujarnya.

Konflik Kerajaan yang melibatkan tokoh adat hijgga dugaan kriminalisasi menjadi perhatian masyarakat Sulawesi Tenggara. Keterlibatan dan dugaan menyebabkan ketidkanyamanan dan ketidakhaemoniaan di kalangan keluarga kerajaan dan masyarakat.

Sementara itu kuasa Hukum Raja Ke VII Alfian Pimpie Jahrullah saat dihubungi awak media via telepon Kamis 11 Desember 2025 menyampaikan, akan memberikan jawaban atas isu yang beredar satu dua hari kedepan.

“Saya pastikan akan memberikan jawaban satu atau dua hari kedepan, karena kami masih akan berembuk terlebih dahulu,” singkatnya.

 

Reporter: Sulthan
Editor : NZ