TERAMEDIA.ID, KENDARI – Di tengah hangatnya wacana revisi Undang-Undang Pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan lokal, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (IKA FH UHO) menyerukan agar pembahasan hukum kepemiluan tidak hanya berpusat di tingkat pusat.
Ketua IKA FH UHO, Baron Harham Ishak Ibrahim, S.H., M.H., menilai proses legislasi hukum pemilu selama ini cenderung top-down dan abai terhadap realitas di daerah. Padahal, banyak problem demokrasi justru muncul di level lokal — dari konflik regulasi, sengketa hasil, hingga lemahnya penegakan etik penyelenggara.
“IKA UHO aktif mendorong ide-ide dari lokal untuk memperkuat hukum kepemiluan. Banyak alumni yang sudah berpengalaman di KPU, Bawaslu, hingga advokat pemilu. Suara daerah seharusnya juga menjadi bagian dari pembahasan revisi UU Pemilu,” tegas Baron.
Menurutnya, keterlibatan daerah bukan sekadar representasi simbolik, melainkan kebutuhan struktural agar hukum pemilu tidak gagal diterapkan di lapangan. “Kalau aturan dibuat dari atas tanpa mendengar suara bawah, maka hukum hanya indah di naskah, tapi pincang di praktik,” ujarnya menambahkan.
Baron juga mendorong agar kampus hukum, khususnya mahasiswa FH UHO, ikut menjadi motor perubahan. Ia menilai kampus memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal arah pembaruan hukum pemilu melalui riset, diskusi kritis, hingga judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Kita ingin lahir generasi akademisi hukum yang berani menantang sistem jika itu tidak berpihak pada keadilan demokrasi,” ujarnya.
Seruan IKA FH UHO ini menegaskan bahwa masa depan demokrasi Indonesia tidak bisa hanya ditentukan oleh elite di pusat. Dari Kendari, suara akademisi hukum daerah menggema: revisi UU Pemilu harus lahir dari pengalaman nyata di seluruh pelosok negeri — bukan dari ruang rapat yang jauh dari realitas rakyat.*(NF)