PariwisataNews

Jiwa Empati Lebih Penting dibanding Orientasi Bisnis Jika Menjadi Mitra Desa Wisata

931
×

Jiwa Empati Lebih Penting dibanding Orientasi Bisnis Jika Menjadi Mitra Desa Wisata

Share this article
Ahmad Nizar/ino (Pemerhati & Konsultan Desa Wisata Sultra)

 

TERAMEDIA.ID, Kendari – Eforia Desa Wisata beberapa tahun terakhir khususnya di Indonesia bahkan di Sulawesi Tenggara cukup mengemuka. Sejumlah Daerah tingkat kabupaten bahkan Kota mendorong pembentukan Desa Wisata/kampung wisata dengan beragam konsep dan konten, namun seiring dengan itu dinamika positif dan negativ pun tidak luput dari kondisi ini.

Seiring dengan semangat ber Desa Wisata seiring itupula ada Oknum-Oknum yang memanfaatkan kondisi ini menjadi lahan bisnis. Hal ini tersirat dari sejumlah kabupaten di Sultra yang beberapa waktu terakhir mengeluhkan adanya pihak – pihak yang menjanjikan mimpi menjadi Desa Wisata namun harus di ikat dengan biaya yang tidak kecil. Bahkan menjual jalur-jalur kepentingan kebijakan untuk membantu Desa yang dijadikan “mangsa” oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut, dan terindikasi dilakukan oleh oknum diluar pemerintahan.

Sejumlah pihak Desa ataupun perorangan yang meminta dirahasiakan identitasnya bahkan menyodorkan bukti pembicaraan dan menceritakan bagaimana oknum-oknum ini melakukan hal-hal yang justru memberatkan Desa yang akan dijadikan Desa Wisata kepada tim redaksi kami. Terkait fenomena ini, tim redaksi Teramedia.id kemudian meminta tanggapan salah satu pemerhati sekaligus konsultan Desa Wisata Sultra yang juga seorang Jurnalis yaitu Ahmad Nizar.

Nizar menyayangkan jika hal itu benar terjadi dan dialami beberapa Desa di Sultra. Sebab menurut dirinya Membangun Desa Wisata sesungguhnya itu tidak gampang baik dari segi anggaran, waktu dan tenaga belum lagi konflik horizontal. Jadi miris kalau ada Desa yang justru dibebani diawal perjalanan menjadi Desa wisata dengan biaya-biaya dan iming-iming sementara Desanya sendiri baru mau belajar berdesa wisata.

“ Desa wisata ini kan sebuah semangat baru yang belakangan mengemuka khususnya di Sulawesi tenggara, dan Rohnya di pariwisata Inti Rakyat (PIR) Rakyat yang membangun, mengelola dan menikmati hasilnya. Dan membangun Desa Wisata itu tidak mudah, biaya, tenaga, waktu dan konflik horizontal tidak sedikit harus dikeluarkan dan dihadapi, jadi kasihan kalau Desanya dibebankan di awal dengan bermitra tapi harus bayar dengan nilai tidak sedikit dan diming-imingi mimpi atau mungkin mampu mengurusi kebijakan ditingkat pemerintahan daerah ataupun pusat, miris kalau ada mitra yang berbuat seperti itu ke Desa, kasihan Desanya“ ujar ino sapaan akrab Ahmad Nizar.

Nizar mengaku sangat terkejut mendengar ada Desa yang menghadapi kondisi dimintai sana sini dana hanya untuk memulai menjadi Desa Wisata, sangat kontras dengan apa yang dia jalani saat menjadi mitra Desa Wisata beberapa tahun lalu.

Saat ini Ahmad nizar sendiri juga sedang mendampingi Desa Wisata Sani-Sani di Kabupaten Kolaka dengan konsep kemitraan yang sama, selain dirinya juga ada beberapa orang yang juga lebih tekhnis mendampingi Desa Sani-Sani.  Dan ini dilakukan tidak lain untuk menambah portofolio pengalaman praktek lapangan terlibat langsung membangun Desa Wisata dan mengikuti prosesnya, saat ini sudah masuk 1 tahun Nizar bolak balik kolaka Kendari untuk menggeluti aktifitasnya sebagai mitra Desa Wisata, terkadang menjadi pemateri dalam workshop-workshop Sadar Wisata, Sapta Pesona dan Desa Wisata baik yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sultra maupun sejumlah kabupaten. Sebelumnya nizar membantu pembentukan Desa Wisata Namu di Konawe Selatan selama kurang lebih 1 tahun Bersama komunitas Ruruhi, dan semua murni menggunakan biaya swadaya pribadi.

“ Jadi pada prinsipnya Desa Wisata itu bisa berjalan baik yang terpenting hanya 2 faktor Masyarakat dan Pemerintah Desanya, jika sama-sama punya kemauan, komitmen, dan konsistensi untuk bekerja keras bersama membangun Desa Wisata, saya yakin Bisa. Ibarat Motor, ya mesinnya ada di warga dan pemerintah desanya, sementara Pemerintah kabupaten, provinsi, bahkan pusat hingga konsultan ataupun mitra itu hanya pelengkap agar motor itu bisa berjalan baik, jadi selain mesin ditambah ada ban, ada setir, ada tempat duduk dan lainnya. Jadi khususnya diwilayah Sultra memang masih sangat butuh mitra-mitra atau pendamping Desa Wisata yang benar-benar niatnya mau membantu Desa untuk bangkit dan punya empati, jangan malah di awali dengan pembebanan biaya atau apapun, karena hal pertama dalam merubah mainset masyarakat itu sudah cukup berat, dari sadar wisata, sapta pesona hingga berdesa wisata. Dan perlu diingat jangan samakan sebuah desa yang pernah kita dampingi atau bina kemudian di samakan dengan desa lainnya, karena karakter masyarakat juga menjadi pembeda dalam penerapan teori-teori Desa Wisata itu sendiri. Belum tentu orang yang mampu mendampingi desa wisata di Jawa pasti berhasil di Sultra atau sebaliknya, karena karakteristik social budaya sudah berbeda dan itu bisa mempengaruhi proses perjalanan sebuah Desa Wisata, cepat maju atau lambat bergerak“.

Nizar menyimpulkan bahwa banyak orang bisa berbicara tentang kepariwisataan,memang dari belajar, membaca,melihat atau bahkan hanya mendengar, namun tidak banyak orang bisa bicara pariwisata dan bisa menjalani proses realitas dilapangan dari teori-teori yang telah dipahami. Lebih sedikit lagi orang yang akhirnya merubah konsep kepariwisataannya ataupun menambah pengetahuan baru setelah menjalani, menghadapi dan melakoni langsung proses dilapangan tentang kepariwisataan itu sendiri.

 

Jurnalis : Doni Oktayudha